Aqidah |
Manusia adalah makhluk yang serba lemah. Sungguh sangat tidak
pantas bila ada orang yang menyombongkan diri tidak butuh dengan pertolongan
Allah. Berserah diri kepada Allah baik dalam keadaan lapang maupun sempit
merupakan jalan menuju keselamatan.
Menyerahkan diri dan semua urusan
hanya kepada Allah kita kenal dengan istilah tawakkal. Jadi, tawakkal adalah
menyerahkan diri dan semua urusan hanya kepada Allah dalam mengambil segala
macam manfaat dan menolak segala macam mudharat. Tawakkal adalah salah satu
jenis ibadah yang diperintahkan oleh Allah dan merupakan ibadah hati yang
kebanyakan orang terjatuh dalam kesalahan yaitu syirik kepada Allah dari sisi
ini. Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Madarijus Salikin (2/14) menyatakan bahwa
Al-Imam Ahmad t berkata: “Tawakkal adalah amalan hati. Allah berfirman:
“Kepada Allah-lah kalian bertawakkal jika kalian benar-benar orang yang
beriman.” (Al-Maidah: 23)
Mengapa Harus Tawakkal
Bila kita
memegang konsep Qadariyyah (kelompok yang menolak takdir Allah atau
berkeyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan sendiri yang tidak terkait dengan
kekuasaan dan kehendak Allah), maka kita akan mengatakan: “Untuk apa kita
tawakkal padahal kita memiliki kemampuan.” Tentu konsep seperti ini adalah
konsep yang batil. Atau seperti yang diucapkan oleh Qarun dengan keangkuhannya:
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu
yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Sehingga ia tidak butuh kepada
tawakkal. Tentunya yang benar tidak seperti itu.
Tawakkal di samping sebagai
perintah Allah juga merupakan perkara yang sangat dibutuhkan oleh setiap
orang. Bagaimana itu? Marilah kita berlaku jujur terhadap diri kita, yaitu bahwa
kita diciptakan oleh Allah dalam keadaan lemah di atas kelemahan. Asy-Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di t dalam tafsirnya mengatakan: “Lemah tubuhnya, lemah
keinginannya, lemah kesungguh-sungguhannya, lemah imannya, dan lemah
kesabarannya. Oleh karena itu pantaslah Allah meringankan (aturan syariat)
yaitu perkara yang dia tidak sanggup untuk memikulnya dan tidak sanggup untuk
dipikul oleh keimanannya, kesabarannya dan kekuatannya.”
Apakah kita bisa
berbuat dengan kelemahan itu tanpa bantuan dari Allah ? Jawabnya tentu saja
tidak. Oleh karena itu bila berbuat sebagai sarana untuk mendapatkan yang
diinginkan tidak akan bisa dilakukan melainkan dengan bantuan Allah, bagaimana
lagi bisa memetik hasil sebagai tujuan dari usaha tersebut tanpa bantuan dari
Allah . Allah berfirman:
“Dan Allah hendak menerima taubat kalian
sedangkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kalian
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran). Allah hendak memberikan keringanan
kepada kalian, dan manusia diciptakan bersifat lemah.” (An-Nisa’: 27-28)
“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah kemudian
menjadikan kalian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian dia
menjadikan kalian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan
apa yang dikehendakinya dan Dialah Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.” (Ar-Rum:
54)
Ayat di atas sangat jelas sebagai bantahan terhadap konsep Qadariyyah
yang memiliki kesombongan terhadap kekuatan yang ada pada dirinya dan ingin
melepaskan diri dari Allah . Oleh karena itu untuk apa engkau menyerahkan diri
dan urusanmu kepada kemampuan diri sendiri padahal dirimu lemah tidak berdaya?
Qarun dengan kemampuannya menumpuk harta yang diberikan Allah dan menyandarkan
semua wujud keberhasilannya kepada ilmunya, pada akhirnya harus menelan
kepahitan hidup yang di saat itu ia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri dan
tidak bisa menelurkan idenya agar bisa kembali berbahagia dengan harta dan
pendukungnya. Bukankah pengetahuan kita terbatas? Allah menjelaskan:
“Dan
tidaklah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” (Al-Isra’: 85)
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu
amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Semua ini menggambarkan kepada
kita tentang sangat butuhnya kita kepada Allah dan tidak akan mungkin meski
sekejap mata untuk terlepas dari Allah . Terlebih lagi kita berasal dari sifat
kelemahan dan tidak mengetahui apa-apa.
Kedudukan Tawakkal dalam
Agama
Tawakkal memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama,
bagaikan kepala terhadap jasad. Bahkan tawakkal merupakan cerminan iman dan
syarat keimanan seseorang. Allah berfirman:
“Kepada Allahlah kalian
bertawakkal (menyerahkan diri) jika kalian benar-benar orang yang beriman.”
(Al-Maidah: 23)
Allah juga berfirman:
“Musa berkata: ‘Wahai kaumku,
jika kalian beriman kepada Allah hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika
kalian orang-orang yang tunduk’.” (Yunus: 84)
Rasulullah bersabda:
“Suatu kaum masuk ke dalam al-jannah (surga) di mana hati-hati mereka
bagaikan hati-hati burung.” (Shahih, HR. Muslim)
Al-Imam An-Nawawi t berkata:
“Sebagian ulama memberikan makna hati mereka bagaikan hati burung’ adalah
orang-orang yang bertawakkal.” (Riyadhush Shalihin)
Ibnul Qayyim t
mengatakan bahwa Allah menjadikan tawakkal sebagai syarat dari iman, menunjukkan
bahwa tidak ada iman ketika tidak ada tawakkal. Dan dalam ayat yang lain Allah
berfirman: “Musa berkata: ‘Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah
hendaklah kalian bertawakkal kepada-Nya jika kalian orang-orang yang tunduk’.”
(Yunus: 84)
Allah menjadikan keshahihan (kebenaran) Islamnya (seseorang)
adalah dengan tawakkal. Dan tatkala tawakkal seorang hamba kuat, imannya akan
menjadi lebih kuat dan apabila tawakkalnya lemah maka ini bukti bahwa imannya
lemah dan mesti terjadi. Allah telah menghimpun (di dalam Al Qur’an) antara
tawakkal dan ibadah, tawakkal dan iman, tawakkal dan takwa, tawakkal dan Islam
dan antara tawakkal dan hidayah. (Thariqul Hijratain, hal. 327)
Allah
berfirman dalam Al Qur’an yang menjelaskan pertolongan-Nya, pembelaan-Nya, dan
kecukupan yang akan diberikan-Nya kepada orang yang bertawakkal:
“Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan
kepadanya.” (Ath-Thalaq: 3)
Tawakkal Diiringi dengan
Usaha
Tawakkal yang tidak diiringi dengan usaha termasuk kekurangan dan
kejelekan agama seseorang, sebagaimana kita ketahui bahwa tawakkal tidak bisa
lepas dari iman dan Islam seperti penjelasan di atas. Nu’man Al-Watr menukilkan
ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah: “Ibnu
Taimiyyah t mengatakan: ‘Meninggalkan sebab-sebab (usaha dalam bertawakkal)
termasuk corengan terhadap syariat-Nya dan menyandarkan diri kepada sebab-sebab
itu termasuk kesyirikan kepada Allah.’ Ibnul Qayyim t mengatakan: ‘Termasuk
sebesar-besar kejahatan dalam agama adalah meninggalkan sebab (usaha) dan
menyangka bahwa yang demikian itu termasuk meniadakan tawakkal’.” (Syarah
Al-Qaulul Mufid, hal. 62)
Ibnul Qayyim t mengatakan: “Barangsiapa yang
meninggalkan sebab/usaha (dalam tawakkal) maka tawakkalnya belum lurus. Akan
tetapi termasuk dari kesempurnaan tawakkal adalah tidak condong kepada
sebab-sebab itu, memutuskan keterkaitan hati dari sebab-sebab itu.” Kemudian
setelah itu beliau mengatakan: “Dan tidak akan tegak dan bernilai dalam
menjalani usaha itu melainkan harus di atas tawakkal.” (Madarijus Salikin,
2/120)
Dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal itu harus dibarengi dengan usaha
adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari
shahabat ‘Umar Ibnul Khathtab z:
“Bila kalian bertawakkal kepada Allah
dengan sebenar-benar tawakkal niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian
sebagaimana dia memberikan rizki kepada burung; pergi di pagi hari dalam keadaan
perut kosong dan pulang dalam keadaan kenyang.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 5254)
Tawakkal dan
Macam-macamnya
Tawakkal sebagai satu bentuk ibadah tentu memiliki celah
bagi seseorang untuk bermaksiat di dalamnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain.
Oleh karena itu para ulama membagi tawakkal menjadi beberapa bagian:
Pertama, tawakkal ibadah.
Yaitu tawakkal yang membuahkan ketundukan dan
pengagungan serta kecintaan dalam mencari segala manfaat dan menolak segala
bentuk mudharat. Tawakkal ini hanya diberikan kepada Allah semata.
Kedua,
tawakkal syirik.
Yaitu tawakkal ibadah yang diberikan kepada selain Allah dan
ini termasuk syirik besar. Barangsiapa memberikannya kepada selain Allah, maka
dia telah keluar dari Islam, telah musyrik dan kafir.
Apabila seseorang
menyandarkan dirinya dengan bertawakkal dalam hatinya kepada selain Allah dalam
masalah rizki dan kehidupannya maka ini termasuk syirik kecil. Jenis tawakkal
seperti ini diistilahkan oleh sebagian ulama dengan syirik khafi (yang
tersembunyi).
Ketiga, tawakkal yang diperbolehkan.
Yaitu menyerahkan satu
bentuk urusan kepada orang lain dan orang tersebut mampu untuk melakukannya,
maka hal ini diperbolehkan1. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah
ketika menyerahkan tugas untuk menyembelih apa yang masih tersisa dari hewan
qurban beliau kepada ‘Ali bin Abi Thalib z sebagaimana dalam riwayat Al-Imam
Muslim, dari shahabat Jabir bin ‘Abdullah z. Juga sebagaimana beliau menyerahkan
tugas penjagaan harta zakat fithri kepada Abu Hurairah z yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Bukhari dan juga sebagaimana beliau telah mewakilkan kepada ‘Urwah
bin Al-Ja’d z untuk membeli binatang qurban.
Walhasil, tawakkal adalah salah
satu jenis ibadah yang terkait dengan hati, yang memiliki kedudukan yang tinggi
di dalam agama. Tawakkal tidak akan sempurna melainkan harus disertai dengan
ikhtiar (usaha) dengan menjalankan sebab-sebabnya. Tawakkal mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan iman, Islam, ibadah, hidayah dan takwa. Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
1 Al Qur’an
2 Riyadhush Shalihin
3 Tafsir
As-Sa’di
4 Al-Qaulul Mufid Syarah Kitabit Tauhid
5 Fathul Majid
6
Madarijus Salikin
Sumber : As-Syariah Offline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar