Oase |
Harta benda merupakan bagian dari rizki yang telah ditetapkan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas setiap hamba. Sebagian dilebihkan atas
sebagian yang lain. Sehingga muncullah sebutan kaya dan miskin. Akan tetapi,
siapakah sebenarnya orang yang disebut kaya atau miskin?
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ
الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Bukanlah kekayaan itu dari
banyaknya harta, akan tetapi kekayaan itu adalah rasa cukup yang ada di dalam
hati.” (HR. Al-Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata dalam
penjelasannya terhadap hadits ini:
“Alhasil, orang yang disifati dengan ghina
an-nafs (kekayaan jiwa) adalah orang yang qana’ah terhadap apa yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala rizkikan kepadanya. Dia tidak tamak untuk menumpuk-numpuk
harta tanpa ada kebutuhan. Tidak pula dia meminta-minta kepada manusia dengan
mendesak. Dia merasa ridha dengan apa yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepadanya, seakan-akan ia terus-menerus merasa cukup.
Sedangkan orang yang
disifati dengan faqru an-nafs (kefakiran jiwa) adalah kebalikannya. Karena dia
tidak qana’ah terhadap apa yang diberikan kepadanya. Dia selalu rakus untuk
menimbun kekayaan, dari arah mana saja. Kemudian, bila dia tidak mendapatkan apa
yang ia cari, ia akan merasa sedih dan menyesal. Seakan-akan dia adalah orang
yang tidak memiliki harta. Karena dia tidak merasa cukup dengan apa yang
diberikan kepadanya, sehingga seakan-akan dia bukan orang yang kaya.” (Fathul
Bari, 2/277)
Demikian pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyebutkan orang yang pada hakikatnya miskin, seperti dalam sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى
النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ،
وَلَكِنَّ الْمِسْكِينَ الَّذِي لاَ يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ
فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلاَ يَقُوْمُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ
“Bukanlah orang
yang miskin itu orang yang meminta-minta kepada manusia untuk diberi satu atau
dua suap makanan, dan satu atau dua butir kurma. Akan tetapi orang yang miskin
itu adalah orang yang tidak memiliki (rasa cukup dalam hatinya yang membuat
dirinya tidak meminta-minta kepada orang lain) dan orang yang tidak
menyembunyikan keadaannya, sehingga orang bersedekah kepadanya tanpa dia
meminta-minta.” (HR. Al-Bukhari no. 1479 dan Muslim no. 1472 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu
berkata:
“Kecukupan dalam hati akan tumbuh dengan keridhaan terhadap qadha
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berserah diri terhadap ketetapan-Nya, meyakini
bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan
kekal, sehingga membawa dirinya berpaling dari tamak dan rakus serta
meminta-minta kepada manusia.” (Fathul Bari, 2/277)
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Sumber : Asy-Syariah offline
Tidak ada komentar:
Posting Komentar